Istilah “pasah” dalam konteks hukum adat merujuk pada perceraian dengan putusan hakim yang didasarkan pada pengaduan istri terhadap suaminya karena suami tidak memberikan nafkah baginya. Pasah menjadi salah satu bentuk penyelesaian hukum terkait permasalahan rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan secara damai antara kedua belah pihak.
Makna dan Dasar Hukum Pasah
Pasah memiliki akar budaya yang kuat dalam masyarakat adat di Indonesia. Dalam kasus ini, pengaduan yang diajukan oleh istri sering kali bertumpu pada kegagalan suami dalam memenuhi kewajiban nafkah. Nafkah di sini tidak hanya mencakup kebutuhan materi seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal, tetapi juga kebutuhan emosional dan perhatian dalam membangun rumah tangga yang harmonis.
Menurut hukum yang berlaku, khususnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pemberian nafkah adalah kewajiban suami sebagaimana tercantum dalam Pasal 80 ayat (4). Jika kewajiban ini tidak dilaksanakan, maka istri berhak untuk mengajukan gugatan cerai.
Proses Pengajuan Pasah
Proses hukum untuk kasus pasah biasanya melibatkan beberapa langkah berikut:
1. Pengajuan Gugatan: Istri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama atau lembaga adat sesuai dengan yurisdiksi kasus.
2. Pembuktian: Dalam sidang, penggugat harus membuktikan bahwa suami tidak memenuhi kewajibannya dalam memberikan nafkah.
3. Putusan Hakim: Hakim akan mempertimbangkan fakta-fakta yang diajukan sebelum memberikan putusan.
Masalah yang Sering Terjadi Berkaitan dengan Pasah
Meskipun pasah merupakan solusi yang diatur secara hukum, terdapat sejumlah masalah yang sering muncul dalam implementasinya:
1. Sulitnya Pembuktian: Banyak istri kesulitan membuktikan bahwa suami benar-benar tidak memberikan nafkah. Hal ini terutama terjadi jika suami memiliki penghasilan tidak tetap atau tidak tercatat.
2. Proses yang Memakan Waktu: Gugatan cerai karena alasan pasah sering kali memerlukan proses panjang, terutama jika suami menolak hadir dalam persidangan atau sengaja memperlambat proses hukum.
3. Ketidaktahuan Hukum: Banyak perempuan di komunitas adat yang tidak sepenuhnya memahami hak mereka terkait pasah, sehingga tidak mengajukan gugatan meskipun mereka berhak.
4. Stigma Sosial: Dalam beberapa komunitas, perceraian masih dianggap tabu, sehingga banyak perempuan enggan mengajukan gugatan meskipun haknya dilanggar.
Kesimpulan
Pasah adalah mekanisme hukum yang bertujuan untuk melindungi hak istri ketika suami gagal memenuhi kewajibannya. Namun, masalah seperti sulitnya pembuktian, stigma sosial, dan kurangnya pemahaman hukum menjadi tantangan yang perlu diatasi. Diperlukan upaya edukasi hukum yang lebih luas agar masyarakat, terutama perempuan, dapat memahami dan memperjuangkan hak mereka secara adil dan bermartabat.