Pendahuluan
Istilah oorlog berasal dari bahasa Belanda yang berarti perang. Dalam konteks hukum, khususnya hukum internasional dan hukum humaniter, perang atau oorlog bukan sekadar konflik bersenjata antara dua pihak, tetapi merupakan suatu keadaan hukum tertentu yang membawa konsekuensi serius bagi negara yang terlibat, individu yang terlibat, serta komunitas internasional secara keseluruhan. Dalam sistem hukum modern, status oorlog atau perang membawa dampak hukum yang kompleks, mulai dari pengaturan jus ad bellum (hukum tentang kapan perang dibolehkan) hingga jus in bello (hukum yang mengatur tata cara perang).
Pengertian Oorlog dalam Perspektif Hukum
Secara yuridis, oorlog adalah kondisi konflik bersenjata yang melibatkan dua atau lebih pihak berdaulat, di mana kekuatan militer digunakan secara sistematis dan berkelanjutan, serta disertai dengan pengumuman atau deklarasi resmi perang. Dalam hukum internasional klasik, perang diakui sebagai instrumen sah bagi negara untuk menyelesaikan perselisihan. Namun, setelah Perang Dunia II, pendekatan ini mengalami perubahan mendasar. Melalui Piagam PBB tahun 1945, perang agresi dilarang keras, dan penggunaan kekuatan militer hanya dibenarkan dalam kerangka pertahanan diri atau mandat Dewan Keamanan PBB.
Namun demikian, meskipun perang sebagai sarana penyelesaian sengketa dilarang, status oorlog tetap diakui sebagai kenyataan hukum ketika konflik bersenjata antarnegara terjadi. Ketika suatu perang meletus, berlaku serangkaian aturan hukum yang mengatur perlindungan bagi korban perang, hak dan kewajiban kombatan, serta larangan-larangan tertentu terkait penggunaan senjata dan metode perang.
Oorlog dan Hukum Humaniter Internasional
Dalam konteks hukum humaniter, oorlog menjadi triger utama bagi berlakunya Konvensi Jenewa 1949 beserta protokol tambahannya. Begitu suatu perang antarnegara pecah, maka semua pihak yang terlibat wajib tunduk pada aturan hukum humaniter, termasuk perlindungan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap tawanan perang, serta larangan penggunaan senjata yang tidak membedakan antara kombatan dan non-kombatan.
Hukum humaniter mengatur bahwa dalam keadaan oorlog, negara tetap terikat pada prinsip-prinsip utama yaitu prinsip kemanusiaan, prinsip pembedaan (distinction), prinsip proporsionalitas, serta prinsip kebutuhan militer. Pelanggaran atas prinsip-prinsip ini berpotensi membawa konsekuensi hukum serius, termasuk tanggung jawab pidana internasional bagi individu yang bertanggung jawab.
Oorlog dan Tanggung Jawab Negara serta Individu
Ketika perang atau oorlog terjadi, tanggung jawab hukum tidak hanya melekat pada negara, tetapi juga pada individu yang berperan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan perang. Pemimpin negara, komandan militer, dan bahkan prajurit dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana atas tindakan-tindakan yang melanggar hukum perang. Inilah yang melahirkan konsep kejahatan perang atau war crimes, yang yuridisnya pertama kali ditegakkan melalui Pengadilan Nuremberg dan kini dikodifikasi dalam Statuta Roma yang menjadi dasar hukum Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Di sisi lain, negara yang memulai perang secara ilegal, misalnya melakukan agresi militer tanpa alasan sah, juga dapat dimintai tanggung jawab hukum di hadapan forum internasional, seperti Mahkamah Internasional (ICJ). Tindakan agresi semacam ini bertentangan dengan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB, yang melarang penggunaan kekuatan bersenjata dalam hubungan internasional kecuali untuk membela diri atau dengan mandat resmi Dewan Keamanan PBB.
Perbedaan Oorlog dan Konflik Bersenjata Non-Internasional
Perlu dicatat bahwa dalam hukum humaniter, oorlog atau perang antarnegara (international armed conflict) dibedakan secara tegas dari konflik bersenjata non-internasional, yaitu konflik bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara dan melibatkan pemerintah melawan kelompok bersenjata non-negara. Pada kasus kedua, hukum humaniter yang berlaku lebih terbatas, yaitu Pasal 3 bersama Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II tahun 1977.
Namun, dalam konflik bersenjata non-internasional yang meluas dan berkepanjangan, seperti perang saudara (civil war), statusnya bisa mendekati karakter oorlog jika eskalasi kekuatan bersenjata dan struktur komando para pihak telah mencapai tingkat tertentu yang menyerupai perang antarnegara.
Implikasi Oorlog terhadap Status Hukum dan Politik
Ketika oorlog terjadi, berbagai konsekuensi hukum dan politik langsung berlaku. Secara hukum internasional, hubungan diplomatik antar pihak yang berperang akan otomatis terputus, berlaku aturan perlindungan diplomatik terhadap warga negara asing, serta diterapkannya hukum blokade dan penyitaan aset musuh. Dalam aspek politik, perang juga kerap mengubah peta geopolitik, menimbulkan dampak ekonomi global, serta memicu lahirnya rezim hukum baru pascaperang, seperti perjanjian damai atau pakta keamanan regional.
Bagi individu, terutama warga sipil dan kombatan, status oorlog membawa implikasi langsung terhadap hak dan kewajiban mereka. Kombatan memperoleh status lawful combatant yang dilindungi hukum perang, sementara warga sipil berhak atas perlindungan maksimal selama tidak ikut serta dalam permusuhan. Pelanggaran terhadap prinsip ini, seperti menyerang warga sipil secara sengaja, dianggap sebagai kejahatan perang yang dapat diproses di Mahkamah Pidana Internasional.
Kesimpulan
Oorlog adalah istilah hukum yang merujuk pada keadaan perang yang membawa dampak hukum mendalam bagi negara, individu, dan komunitas internasional. Dalam konteks hukum modern, perang bukan lagi sekadar konflik bersenjata, melainkan situasi hukum khusus yang diatur ketat oleh hukum internasional, terutama hukum humaniter. Status oorlog tidak hanya melahirkan hak dan kewajiban baru bagi negara yang terlibat, tetapi juga menempatkan individu yang terlibat pada potensi tanggung jawab pidana internasional jika melanggar aturan hukum perang. Memahami konsep oorlog secara utuh sangat penting bagi praktisi hukum, diplomat, serta aparat keamanan untuk memastikan bahwa kedaulatan negara dijaga tanpa mengabaikan kemanusiaan dan keadilan yang menjadi fondasi utama dari hukum internasional itu sendiri.