Istilah “salindung kagelung” berasal dari tradisi Sunda dan memiliki arti yang unik dalam konteks pernikahan. Secara khusus, istilah ini mengacu pada pernikahan antara seorang pria muda yang belum memiliki kekayaan dengan seorang wanita tua yang kaya. Dari sudut pandang budaya, fenomena ini memiliki konotasi sosial tertentu, sedangkan dari sisi hukum, pernikahan seperti ini memunculkan berbagai isu yang menarik untuk dibahas.
Makna Salindung Kagelung
Dalam budaya Sunda, “salindung kagelung” secara harfiah berarti pria yang “menyembunyikan diri” di bawah pengayoman wanita kaya, yang dilambangkan dengan sanggul (gambaran perempuan). Hal ini mencerminkan dinamika di mana wanita tua, yang biasanya sudah mapan secara ekonomi, mengambil peran sebagai pelindung atau pemberi nafkah utama dalam pernikahan. Sementara pria muda sering dianggap sebagai pihak yang bergantung atau berlindung di bawah posisi sosial dan ekonomi pasangannya.
Salindung Kagelung dalam Perspektif Hukum
Dalam hukum perdata, khususnya yang berkaitan dengan pernikahan, hubungan semacam ini tidak memiliki pengaturan khusus terkait usia atau status ekonomi. Namun, terdapat sejumlah prinsip hukum yang relevan:
1. Kesetaraan Hak dan Kewajiban dalam Pernikahan
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa suami dan istri memiliki kedudukan yang setara dalam pernikahan. Hal ini berarti, meskipun salah satu pihak lebih dominan secara ekonomi, hak dan kewajiban dalam rumah tangga tetap harus dilaksanakan secara adil dan seimbang.
2. Harta dalam Pernikahan
Jika wanita kaya membawa harta sebelum pernikahan, harta tersebut tetap menjadi hak pribadinya, kecuali ada perjanjian pranikah yang menyatakan sebaliknya. Ini diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan. Dalam kasus “salindung kagelung,” perjanjian pranikah dapat menjadi mekanisme penting untuk melindungi hak-hak kedua belah pihak.
3. Perlindungan dari Eksploitasi
Hukum juga memberikan perlindungan dari kemungkinan eksploitasi. Jika pernikahan tersebut dilakukan dengan niat buruk, misalnya untuk mengambil alih harta pasangan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan hukum berdasarkan asas keadilan dan ketertiban.
Masalah yang Sering Muncul dalam Pernikahan Salindung Kagelung
Meskipun pernikahan “salindung kagelung” sah secara hukum, terdapat beberapa masalah yang sering muncul:
1. Stigma Sosial
Masyarakat sering memandang negatif hubungan ini, menganggap bahwa pria muda menikah semata-mata untuk memanfaatkan kekayaan wanita tua. Stigma ini dapat memengaruhi keharmonisan rumah tangga dan tekanan psikologis bagi pasangan.
2. Ketimpangan Kekuasaan
Ketimpangan dalam aspek ekonomi sering kali menyebabkan salah satu pihak merasa lebih dominan dalam hubungan. Hal ini dapat memengaruhi pengambilan keputusan bersama dalam rumah tangga.
3. Tidak Adanya Perjanjian Pranikah
Banyak pasangan dalam konteks “salindung kagelung” yang tidak membuat perjanjian pranikah, sehingga memunculkan konflik dalam pengelolaan harta bersama atau saat terjadi perceraian.
4. Motif Ekonomi dalam Pernikahan
Terkadang, pernikahan seperti ini tidak dilandasi oleh niat yang tulus, melainkan oleh kepentingan ekonomi semata. Hal ini dapat menimbulkan sengketa hukum jika terbukti ada unsur penipuan atau manipulasi.
Langkah-Langkah Perlindungan dalam Pernikahan Salindung Kagelung
Untuk memastikan bahwa pernikahan “salindung kagelung” berlangsung adil dan harmonis, beberapa langkah berikut dapat dilakukan:
1. Menyusun Perjanjian Pranikah
Perjanjian ini dapat mengatur pembagian harta sebelum dan selama pernikahan, sehingga melindungi hak kedua belah pihak.
2. Memastikan Niat Tulus Kedua Pihak
Pernikahan harus didasarkan pada cinta, kepercayaan, dan komitmen, bukan semata-mata karena pertimbangan ekonomi.
3. Konsultasi Hukum dan Psikologis
Sebelum menikah, pasangan disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum dan psikolog untuk memastikan kesesuaian visi dan misi dalam membangun rumah tangga.
4. Mengatasi Stigma dengan Pendidikan Sosial
Penting untuk mengedukasi masyarakat bahwa pernikahan semacam ini sah dan tidak selayaknya dihakimi selama tidak melanggar norma hukum dan etika.
Kesimpulan
“Salindung kagelung” adalah fenomena pernikahan yang memiliki keunikan tersendiri dalam budaya Sunda dan perspektif hukum. Pernikahan ini mencerminkan dinamika antara status sosial, ekonomi, dan usia yang sering kali menimbulkan tantangan baik dari aspek sosial maupun hukum.
Dengan perlindungan hukum yang tepat dan komitmen untuk menjalankan hubungan secara setara, pernikahan “salindung kagelung” dapat menjadi hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Namun, pasangan juga perlu waspada terhadap potensi konflik dan stigma yang mungkin muncul, serta memastikan bahwa pernikahan didasarkan pada niat baik dan kepercayaan satu sama lain.