Istilah “patriarchaat” berasal dari bahasa Belanda yang berarti patriarki, sebuah sistem sosial di mana kekuasaan utama berada di tangan laki-laki, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun institusi. Dalam sistem ini, laki-laki memiliki peran dominan dalam pengambilan keputusan dan kontrol atas sumber daya, sementara perempuan sering kali berada dalam posisi subordinat.
Makna dan Cakupan Patriarchaat
Patriarki tidak hanya terbatas pada hubungan keluarga, tetapi juga mencakup struktur sosial, ekonomi, dan politik. Dalam konteks hukum, sistem patriarki sering kali memengaruhi pembentukan peraturan, interpretasi hukum, dan pelaksanaannya. Misalnya:
1. Kepemimpinan Keluarga: Dalam hukum adat atau hukum agama tertentu, kepala keluarga biasanya adalah laki-laki, yang memiliki hak penuh atas pengambilan keputusan.
2. Hak Waris: Dalam beberapa sistem hukum adat, hak waris laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, atau perempuan bahkan tidak mendapatkan hak waris.
3. Keterwakilan Perempuan: Dalam bidang politik atau hukum, perempuan sering kali menghadapi hambatan struktural untuk mencapai posisi kepemimpinan karena budaya patriarki.
Perspektif Hukum terhadap Patriarchaat
Secara global, upaya untuk mengatasi dampak patriarki telah dimasukkan ke dalam berbagai instrumen hukum internasional, seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Dalam konstitusi banyak negara, termasuk Indonesia, prinsip kesetaraan gender telah diakui, misalnya dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Namun, penerapan prinsip ini sering kali menghadapi tantangan di lapangan. Dalam banyak komunitas adat atau pedesaan, hukum adat yang bersifat patriarki masih sangat berpengaruh, sehingga perempuan sulit mendapatkan perlindungan atau pengakuan yang setara.
Masalah yang Sering Terjadi Berkaitan dengan Patriarchaat
Meskipun ada upaya hukum untuk mengatasi ketidakadilan gender, berbagai masalah masih sering muncul akibat pengaruh patriarki, antara lain:
1. Diskriminasi dalam Hak Waris: Dalam beberapa komunitas adat, perempuan menerima bagian warisan yang jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki, atau bahkan tidak mendapatkan bagian sama sekali.
2. Keterbatasan Akses Perempuan terhadap Keadilan: Banyak perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau pelanggaran hak lainnya tidak melaporkan kasusnya karena takut terhadap stigma sosial atau kurangnya dukungan hukum.
3. Minimnya Representasi Perempuan: Perempuan sering kali kurang terwakili dalam posisi pembuat kebijakan, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, sehingga suara mereka tidak cukup didengar dalam proses legislasi.
4. Ketidakadilan dalam Hukum Adat: Dalam beberapa sistem adat, keputusan hukum adat lebih memihak kepada laki-laki, misalnya dalam kasus perceraian atau perselisihan kepemilikan aset.
5. Ketimpangan Ekonomi: Sistem patriarki juga memengaruhi kesempatan ekonomi perempuan, seperti akses terhadap pekerjaan, pinjaman usaha, atau kepemilikan tanah.
Kesimpulan
Patriarchaat atau patriarki adalah sistem yang memiliki akar mendalam dalam berbagai budaya dan tradisi, termasuk dalam hukum. Meskipun telah ada langkah hukum untuk mengatasi dampak negatif patriarki, hambatan struktural dan kultural masih menjadi tantangan besar. Upaya untuk menciptakan kesetaraan gender membutuhkan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga internasional. Reformasi hukum dan perubahan budaya adalah kunci untuk mengurangi ketimpangan gender dalam sistem patriarki, sehingga perempuan dan laki-laki dapat menikmati hak yang setara secara penuh.