Blanc-seing adalah istilah hukum yang berasal dari bahasa Prancis, yang secara harfiah berarti “tanda tangan kosong”. Dalam praktik hukum, blanc-seing merujuk pada dokumen yang telah ditandatangani oleh seseorang tetapi belum diisi dengan isi atau rincian tertentu.
Penggunaan blanc-seing sering terjadi dalam dunia bisnis, administrasi, dan hukum, seperti dalam pembuatan kontrak, perjanjian, atau surat kuasa yang membutuhkan pengisian lebih lanjut. Namun, dokumen ini memiliki risiko hukum yang tinggi, terutama jika disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Regulasi Hukum yang Mengatur Blanc-Seing
Di banyak negara, termasuk Indonesia, penggunaan blanc-seing diatur oleh berbagai peraturan hukum untuk mencegah penyalahgunaan dan potensi tindak pidana, seperti pemalsuan dokumen atau penipuan. Beberapa regulasi yang relevan antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
- Mengatur tentang sahnya perjanjian dan kewajiban adanya kesepakatan antara para pihak.
- Blanc-seing yang disalahgunakan dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
- Pasal-pasal terkait pemalsuan dokumen dapat menjerat pihak yang menyalahgunakan blanc-seing.
- Misalnya, Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat atau Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
- Mengatur perlindungan terhadap dokumen elektronik, termasuk tanda tangan digital yang dapat berfungsi sebagai blanc-seing elektronik.
Keuntungan dan Risiko Penggunaan Blanc-Seing
Keuntungan:
1. Mempermudah Proses Administrasi
- Digunakan dalam bisnis dan pemerintahan untuk mempercepat pembuatan dokumen tanpa harus menunggu tanda tangan ulang.
2. Memungkinkan Delegasi Wewenang
- Dalam beberapa kasus, seseorang dapat memberi kuasa kepada pihak lain untuk mengisi detail dokumen yang sudah ditandatangani.
Risiko:
1. Penyalahgunaan oleh Pihak Tidak Bertanggung Jawab
- Dokumen yang telah ditandatangani dapat diisi dengan isi yang berbeda dari maksud awal pemilik tanda tangan.
2. Dapat Digunakan untuk Pemalsuan atau Penipuan
- Jika digunakan untuk kepentingan ilegal, pemegang blanc-seing bisa menghadapi tuntutan hukum meskipun ia tidak mengetahui isi yang diisi kemudian.
3. Kesulitan Pembuktian dalam Sengketa Hukum
- Jika terjadi perselisihan terkait isi dokumen yang telah diisi setelah penandatanganan, sulit untuk membuktikan bahwa isi tersebut berbeda dari niat awal.
Masalah yang Sering Terjadi dalam Blanc-Seing
1. Pengisian Dokumen Tanpa Sepengetahuan Pemilik Tanda Tangan
- Contoh: Seseorang menandatangani dokumen kosong, kemudian pihak lain mengisinya dengan pernyataan yang berbeda, seperti perjanjian utang yang tidak pernah disepakati.
2. Pemerasan dan Penyalahgunaan oleh Oknum yang Berkuasa
- Contoh: Dalam dunia bisnis atau politik, seseorang bisa dipaksa menandatangani blanc-seing, lalu isi dokumen diubah untuk menguntungkan pihak tertentu.
3. Blanc-Seing Elektronik yang Disalahgunakan
- Contoh: Dalam transaksi digital, tanda tangan elektronik yang diberikan tanpa membaca isi dokumen dapat digunakan untuk transaksi yang merugikan.
4. Kesulitan Hukum dalam Pembuktian dan Perlindungan Hak
- Jika seseorang menggugat penyalahgunaan blanc-seing, ia harus memiliki bukti kuat bahwa isi dokumen telah diubah tanpa persetujuannya.
Kesimpulan
Blanc-seing adalah praktik hukum yang memiliki manfaat dalam efisiensi administrasi, tetapi juga memiliki risiko tinggi jika disalahgunakan. Oleh karena itu, sangat penting bagi individu dan perusahaan untuk berhati-hati dalam menandatangani dokumen kosong dan memastikan ada mekanisme perlindungan hukum, seperti saksi atau bukti tertulis, untuk mencegah penyalahgunaan.
Dalam praktik hukum modern, penggunaan tanda tangan digital dan sistem autentikasi yang lebih ketat dapat menjadi solusi untuk mengurangi risiko penyalahgunaan blanc-seing dalam berbagai transaksi hukum dan bisnis.