Istilah “woeker” berasal dari bahasa Belanda dan secara harfiah berarti “pengambilan keuntungan yang berlebihan.” Dalam konteks hukum, woeker mengacu pada praktik pemberian pinjaman dengan suku bunga yang sangat tinggi, yang dianggap tidak adil dan eksploitatif. Woeker sering kali dikaitkan dengan situasi di mana seseorang memanfaatkan keadaan mendesak atau kelemahan ekonomi pihak lain untuk memperoleh keuntungan yang berlebihan.
Asal-Usul dan Penggunaan Istilah
Istilah woeker digunakan secara luas dalam hukum Belanda dan warisan hukumnya yang memengaruhi sistem hukum di Indonesia. Dalam konteks hukum perdata, istilah ini sering muncul dalam sengketa terkait pinjaman uang, hipotek, atau kontrak lainnya yang dianggap memberatkan salah satu pihak.
Woeker dalam Hukum Indonesia
Dalam hukum Indonesia, prinsip keadilan dalam kontrak dan pinjaman diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun, ada batasan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Woeker dapat dianggap bertentangan dengan asas keadilan dan kepatutan dalam hukum perdata. Meskipun istilah “woeker” tidak disebutkan secara eksplisit dalam KUHPerdata, praktik ini dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, atau dianggap sebagai penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan perjanjian.
Peraturan yang Melarang Woeker
Selain KUHPerdata, beberapa peraturan lain yang relevan untuk melarang praktik woeker meliputi:
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang mengatur batasan suku bunga yang wajar untuk melindungi konsumen.
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang melarang pelaku usaha melakukan praktik yang merugikan konsumen, termasuk pemberian pinjaman dengan suku bunga yang tidak masuk akal.
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi lembaga keuangan non-bank, seperti koperasi simpan pinjam dan perusahaan fintech.
Konsekuensi Hukum dari Woeker
Praktik woeker dapat menimbulkan beberapa konsekuensi hukum, antara lain:
- Pembatalan Perjanjian: Jika pengadilan menemukan bahwa perjanjian pinjaman dibuat berdasarkan suku bunga yang tidak adil atau eksploitasi, perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
- Ganti Rugi: Pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita akibat praktik woeker.
- Sanksi Administratif atau Pidana: Dalam beberapa kasus, pelaku woeker dapat dikenai sanksi administratif atau pidana, terutama jika melibatkan lembaga keuangan yang diatur oleh OJK.
Penutup
Istilah woeker menyoroti pentingnya prinsip keadilan dalam hubungan hukum, terutama dalam kontrak pinjaman. Dalam sistem hukum Indonesia, praktik woeker dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan dapat dikenai sanksi hukum. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami hak dan kewajiban mereka dalam setiap perjanjian hukum, serta berhati-hati terhadap praktik yang merugikan.