Pengertian Proletar dan Akar Historisnya
Istilah proletar berasal dari bahasa Latin proletarius yang merujuk pada kelas sosial paling bawah yang hanya memiliki tenaga kerja sebagai satu-satunya modal. Dalam perkembangan sejarah, proletar diidentikkan dengan kaum buruh yang tidak memiliki alat produksi sehingga hidup mereka sepenuhnya bergantung pada penjualan tenaga kerja kepada pemilik modal. Dalam konteks hukum modern, istilah proletar telah mengalami pergeseran makna menjadi sebutan bagi tenaga kerja atau buruh yang berhak atas perlindungan hukum dalam hubungan industrial. Konsep proletar yang awalnya bernuansa ideologis kini bertransformasi menjadi subjek hukum yang wajib dijamin hak-haknya melalui aturan hukum ketenagakerjaan.
Proletar dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
Dalam sistem hukum Indonesia, proletar diterjemahkan menjadi pekerja atau buruh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Berdasarkan ketentuan tersebut, pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dan menerima upah atau imbalan dalam suatu hubungan kerja. Walaupun kata proletar tidak digunakan secara eksplisit, semangat perlindungan terhadap kelas pekerja tetap menjadi esensi utama dalam ketentuan hukum tersebut. Kaum proletar berhak atas perlindungan upah yang layak, jaminan sosial, perlakuan nondiskriminatif, hak berserikat, serta kebebasan menyampaikan pendapat, termasuk hak untuk mogok kerja sebagai bagian dari perjuangan hak-hak normatif mereka.
Proletar dan Prinsip Keadilan Sosial dalam Konstitusi
Perlindungan terhadap proletar juga memiliki landasan kuat dalam konstitusi Indonesia. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu, Pasal 28D ayat (2) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kesempatan yang sama dalam pemerolehan pekerjaan yang layak serta perlakuan yang adil dalam hubungan kerja. Ketentuan konstitusi ini selaras dengan nilai keadilan sosial dalam Pancasila sila ke-5 yang menegaskan bahwa negara wajib menjamin kesejahteraan seluruh rakyat tanpa terkecuali, termasuk proletar yang merupakan tulang punggung sektor produksi nasional.
Perjuangan Proletar Melalui Instrumen Hukum Perburuhan
Perjuangan proletar dalam menuntut hak dan kesejahteraan diakomodasi melalui mekanisme hukum yang memungkinkan mereka mengorganisasi diri melalui serikat buruh. Dalam konteks hukum ketenagakerjaan Indonesia, hak berserikat diatur dalam Pasal 104 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang memberi jaminan bahwa buruh bebas membentuk, menjadi anggota, atau menjalankan kegiatan serikat pekerja tanpa adanya tekanan atau campur tangan pihak lain, termasuk pengusaha. Serikat buruh berfungsi sebagai alat perjuangan kolektif bagi proletar dalam memperjuangkan perbaikan kondisi kerja melalui perundingan bipartit, menyampaikan pendapat secara sah, hingga melakukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial apabila terjadi pelanggaran hak.
Proletar dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia
Kaum proletar juga merupakan bagian dari subjek hukum yang hak-haknya dijamin melalui kerangka hukum hak asasi manusia. Dalam instrumen internasional, hak-hak proletar secara eksplisit diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Kovenan tersebut menegaskan hak atas pekerjaan yang layak, kondisi kerja yang manusiawi, hak atas pembentukan serikat pekerja, serta hak atas waktu istirahat dan cuti. Dalam lingkup hukum nasional, perlindungan hak-hak tersebut juga dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menempatkan hak atas pekerjaan sebagai bagian integral dari hak asasi yang wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara.
Proletar dalam Realitas Hukum: Antara Harapan dan Kenyataan
Meskipun hukum telah menyediakan payung perlindungan yang memadai, realitas di lapangan menunjukkan bahwa eksploitasi terhadap proletar masih terjadi dalam berbagai bentuk. Upah murah, sistem kerja kontrak yang tidak manusiawi, PHK sepihak, pelecehan di tempat kerja, hingga pembubaran paksa serikat buruh adalah potret buram yang masih membayangi kehidupan proletar di Indonesia. Situasi ini menunjukkan bahwa ketimpangan kuasa antara pemilik modal dan proletar masih terus terjadi, diperparah dengan lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan yang sering kali sarat kepentingan politik dan ekonomi. Oleh sebab itu, penguatan kesadaran hukum di kalangan proletar menjadi hal yang sangat penting agar mereka mampu menggunakan instrumen hukum secara efektif sebagai alat perjuangan kelas.
Kesimpulan
Proletar dalam konteks hukum adalah representasi dari kaum pekerja yang mengandalkan tenaga kerja sebagai satu-satunya sumber penghidupan dan menjadi subjek hukum yang memiliki hak-hak konstitusional maupun hak asasi yang wajib dijamin oleh negara. Dalam sistem hukum Indonesia, perlindungan terhadap proletar termanifestasi melalui regulasi ketenagakerjaan, konstitusi, dan hukum hak asasi manusia, yang semuanya menekankan pentingnya pengakuan atas martabat manusia dalam hubungan kerja. Namun, realitas menunjukkan bahwa eksploitasi masih terus menghantui kaum proletar karena lemahnya keberpihakan negara dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, kesadaran kolektif dan penguatan kapasitas hukum proletar menjadi kunci utama dalam mewujudkan keadilan sosial yang sejati bagi seluruh rakyat Indonesia.