Prikkellectuur sebagai Bentuk Bacaan yang Dilarang dalam Perspektif Hukum dan Pengaruhnya terhadap Regulasi Konten di Indonesia

March 7, 2025

Pengertian Prikkellectuur dalam Hukum

Prikkellectuur adalah istilah hukum yang berasal dari bahasa Belanda, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai bacaan yang merangsang hawa nafsu atau hasrat seksual. Dalam konteks hukum, prikkellectuur merujuk pada segala jenis publikasi, buku, majalah, atau media lainnya yang mengandung materi cabul, pornografi, atau konten vulgar yang bertujuan membangkitkan gairah seksual pembaca. Istilah ini sangat erat kaitannya dengan sensor media, perlindungan moral publik, dan pengaturan konten dalam hukum pidana dan media.

Prikkellectuur dalam Perspektif Hukum Pidana

Di Indonesia, konsep prikkellectuur meski berasal dari sistem hukum Belanda, tetap relevan dalam regulasi modern tentang pornografi. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 282, ada larangan mengenai penyebaran dan peredaran tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan. Pasal ini secara substansial mencakup prikkellectuur, yaitu segala bentuk bacaan yang sengaja dirancang untuk merangsang hasrat seksual tanpa nilai edukatif atau seni yang dapat dibenarkan.

Dalam konteks yang lebih spesifik, pengaturan mengenai prikkellectuur juga bisa ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang mengatur mengenai pembuatan, penyebaran, serta kepemilikan materi pornografi. Meskipun kata prikkellectuur tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang tersebut, semangat pengaturannya sejalan dengan konsep prikkellectuur dalam hukum Belanda.

Perbedaan Prikkellectuur dan Materi Sastra Dewasa

Penting untuk membedakan prikkellectuur dengan sastra dewasa atau literasi erotik yang bernilai seni. Prikkellectuur cenderung eksploitatif, murni bertujuan merangsang birahi tanpa ada nilai budaya, seni, atau literasi yang bermakna. Dalam hukum pers dan kebebasan berekspresi, hal ini menjadi batasan penting: karya seni atau sastra yang mengandung unsur erotis tetapi memiliki nilai seni atau pesan sosial biasanya tidak dikategorikan sebagai prikkellectuur, dan mendapat perlindungan hukum yang lebih luas.

Prikkellectuur dan Sensor Media

Dalam konteks pengawasan media, prikkellectuur menjadi alasan utama bagi lembaga sensor di Indonesia, seperti Lembaga Sensor Film (LSF), untuk melakukan penyuntingan atau bahkan melarang peredaran karya yang dianggap melanggar norma kesusilaan. Begitu pula dalam dunia penerbitan buku dan majalah, prikkellectuur menjadi objek utama sensor konten oleh aparat penegak hukum dan lembaga pengawas media.

Kasus-kasus pelarangan buku, majalah, atau komik yang dianggap tidak pantas sering kali berakar dari kekhawatiran bahwa publikasi tersebut mengandung unsur prikkellectuur. Fenomena ini menunjukkan bahwa prikkellectuur bukan sekadar konsep hukum lama, tetapi tetap hidup dalam kebijakan moral dan sensor konten di Indonesia hingga saat ini.

Prikkellectuur dan Era Digital

Di era digital, pengaturan mengenai prikkellectuur menjadi lebih rumit karena konten berbau cabul atau pornografi beredar sangat bebas melalui internet dan media sosial. Konsep hukum lama tentang prikkellectuur harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi. Saat ini, pengawasan terhadap konten digital yang merangsang nafsu seksual diatur melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya pada Pasal 27 ayat (1) yang melarang pendistribusian atau transmisi konten yang melanggar kesusilaan.

Namun, tantangan utama dalam era digital adalah siapa yang menentukan batas prikkellectuur. Interpretasi mengenai kesusilaan sering kali bersifat subjektif, tergantung pada norma sosial, budaya, dan bahkan politik yang berlaku di suatu tempat.

Kasus Nyata terkait Prikkellectuur

Salah satu kasus yang pernah mencuat adalah pencabutan izin edar majalah dewasa di Indonesia karena dianggap memuat prikkellectuur yang melanggar kesusilaan umum. Selain itu, beberapa novel atau buku dengan konten erotis vulgar juga pernah dilarang peredarannya karena dinilai lebih menonjolkan eksploitasi seksual daripada unsur sastra atau nilai seni.

Di ranah digital, pemblokiran situs-situs dewasa juga merupakan bentuk penerapan modern konsep prikkellectuur, di mana negara bertindak sebagai penjaga moral publik dengan menutup akses terhadap bacaan yang dianggap membahayakan moralitas masyarakat.

Kesimpulan

Prikkellectuur adalah konsep hukum yang mencerminkan bagaimana negara berupaya menjaga moralitas publik melalui kontrol atas konten bacaan yang dianggap cabul dan merangsang birahi secara berlebihan. Dalam sistem hukum Indonesia, meskipun istilah ini tidak lagi digunakan secara eksplisit, substansinya tetap hidup dalam berbagai regulasi, mulai dari KUHP, UU Pornografi, hingga UU ITE. Dalam konteks modern, penerapan konsep prikkellectuur menghadapi tantangan besar karena perkembangan teknologi informasi membuat distribusi konten cabul menjadi jauh lebih mudah dan melintasi batas yurisdiksi. Oleh karena itu, perlindungan moral publik harus diimbangi dengan perlindungan kebebasan berekspresi, agar sensor tidak berubah menjadi alat represi terhadap kreativitas dan kebebasan berbicara yang sah secara hukum.

Leave a Comment