Par Force dalam Perspektif Hukum Penerapan Paksaan dalam Sistem Peradilan Indonesia

March 6, 2025

Pengertian Par Force dalam Hukum

Dalam istilah hukum, Par Force merujuk pada tindakan paksaan hukum yang dilakukan oleh aparat atau lembaga yang berwenang dalam rangka menjalankan atau menegakkan putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Istilah ini berakar dari bahasa Belanda, di mana “par force” berarti dengan kekuatan atau secara paksa. Konsep ini relevan dalam hukum perdata maupun hukum pidana, khususnya terkait eksekusi putusan pengadilan.

Dalam hukum perdata, Par Force muncul ketika pihak yang kalah dalam perkara tidak menjalankan kewajibannya secara sukarela, sehingga pengadilan berwenang melakukan eksekusi paksa untuk memastikan hak pihak pemenang perkara terpenuhi. Sementara dalam hukum pidana, Par Force berkaitan dengan pelaksanaan sanksi pidana yang bersifat memaksa, seperti penangkapan paksa, penahanan, atau penyitaan barang bukti.

Dasar Hukum Par Force di Indonesia

Penerapan Par Force diatur dalam berbagai regulasi di Indonesia. Dalam konteks hukum perdata, ketentuan terkait eksekusi paksa tercantum dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg), yang keduanya mengatur tentang pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan. Sementara dalam hukum pidana, konsep paksaan hukum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya terkait kewenangan aparat penegak hukum dalam melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan secara paksa demi kepentingan proses peradilan pidana.

Prinsip dasar dari Par Force adalah law enforcement, di mana negara memiliki kewajiban memastikan hukum benar-benar ditegakkan, meskipun harus menggunakan kekuatan fisik atau paksaan. Namun, penggunaan paksaan ini wajib proporsional dan tidak boleh melanggar hak asasi manusia.

Contoh Penerapan Par Force dalam Praktik Hukum

Dalam kasus sengketa perdata, misalnya sengketa tanah, jika pihak tergugat yang kalah menolak mengosongkan tanah tersebut meski sudah ada putusan pengadilan yang mengikat, maka pengadilan dapat memerintahkan jurusita untuk melaksanakan eksekusi paksa (Par Force). Proses ini bisa melibatkan bantuan kepolisian jika pihak yang kalah melakukan perlawanan fisik.

Sementara dalam perkara pidana, penerapan Par Force terlihat saat aparat penegak hukum melakukan penjemputan paksa terhadap tersangka yang mangkir dari panggilan pemeriksaan. Dalam kondisi tertentu, penyidik juga berwenang menyita harta kekayaan hasil tindak pidana melalui mekanisme penyitaan paksa. Semua tindakan tersebut merupakan manifestasi nyata dari prinsip Par Force dalam sistem hukum pidana.

Par Force dan Perlindungan Hak Asasi Manusia

Meskipun bersifat memaksa, penerapan Par Force tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip due process of law serta perlindungan hak asasi manusia. Setiap tindakan paksa yang dilakukan aparat harus berdasar pada aturan hukum yang sah, dilakukan secara proporsional, serta diawasi oleh lembaga berwenang. Penyalahgunaan konsep Par Force, seperti tindakan kekerasan berlebihan (excessive force) atau eksekusi tanpa dasar hukum, berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara dan dapat digugat melalui mekanisme praperadilan.

Kesimpulan

Par Force adalah konsep hukum yang mencerminkan kewenangan negara untuk melakukan tindakan pemaksaan guna menjalankan putusan hukum yang berkekuatan tetap atau dalam rangka penegakan hukum. Di Indonesia, Par Force berperan penting dalam memastikan supremasi hukum tetap terjaga, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Namun, penerapannya wajib mengedepankan prinsip proporsionalitas dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan cara ini, hukum dapat ditegakkan tanpa mengorbankan keadilan substantif dan hak konstitusional masyarakat.

Leave a Comment