Pernikahan adalah salah satu momen sakral dalam kehidupan yang melibatkan komitmen dan tanggung jawab antara dua individu. Dalam tradisi dan hukum Islam, maskawin atau mahar menjadi salah satu elemen penting yang tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga syarat sah pernikahan. Maskawin diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita sebagai bentuk penghormatan, keseriusan, dan tanggung jawab dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Maskawin tidak hanya memiliki dimensi hukum, tetapi juga sosial dan kultural. Dalam masyarakat Indonesia yang kaya akan adat istiadat, maskawin sering kali menjadi simbol status sosial keluarga pengantin. Namun, di balik keindahan simbolisnya, praktik maskawin sering kali diwarnai oleh berbagai permasalahan, seperti permintaan maskawin yang berlebihan hingga ketidaktahuan masyarakat akan hak-hak yang menyertainya.
Pengertian Maskawin
Maskawin, atau yang juga dikenal sebagai mahar, adalah harta atau sesuatu yang diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita sebagai salah satu syarat sah dalam pernikahan. Dalam konteks hukum Islam, maskawin adalah hak mutlak mempelai wanita dan menjadi tanda penghormatan terhadap dirinya.
Dalam hukum positif Indonesia, maskawin diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Komilasi Hukum Islam (KHI) bagi umat Muslim. Pasal 30 KHI menjelaskan bahwa maskawin dapat berupa uang, barang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Makna Filosofis Maskawin
Maskawin memiliki makna simbolis dan filosofis sebagai:
1. Tanda Kesungguhan: Melambangkan keseriusan mempelai pria dalam membangun kehidupan bersama.
2. Penghormatan: Menunjukkan penghormatan kepada mempelai wanita.
3. Hak Milik Pribadi: Memberikan hak ekonomi kepada wanita yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk suami.
Landasan Hukum Maskawin
Dalam perspektif hukum Islam dan adat, maskawin diakui sebagai syarat sah pernikahan. Beberapa landasan hukum terkait maskawin:
1. Hukum Islam: Maskawin wajib diberikan berdasarkan ayat Al-Qur’an (Surah An-Nisa: 4) dan hadis Rasulullah SAW.
2. Hukum Nasional: UU No. 1 Tahun 1974 mengakui ketentuan agama dan adat dalam hal maskawin, terutama dalam konteks perkawinan umat Islam.
Masalah yang Sering Terjadi dalam Praktik Maskawin
1. Permintaan Maskawin yang Berlebihan
Dalam beberapa budaya, maskawin dijadikan simbol status sosial sehingga keluarga wanita meminta jumlah yang tinggi, yang dapat memberatkan calon mempelai pria. Hal ini sering memicu ketegangan atau bahkan menggagalkan pernikahan.
2. Perebutan Hak Maskawin
Setelah pernikahan, ada kasus di mana hak maskawin wanita diperdebatkan, terutama jika bentuknya adalah barang atau aset bernilai tinggi.
3. Ketidaktahuan Akan Hak Maskawin
Banyak wanita tidak menyadari bahwa maskawin adalah hak mereka sepenuhnya. Ketidaktahuan ini sering kali membuat wanita tidak memanfaatkan maskawin sebagaimana mestinya.
4. Maskawin Simbolis yang Tidak Realistis
Dalam beberapa kasus, maskawin berupa sesuatu yang sangat simbolis (seperti benda bernilai rendah), yang meskipun sah menurut hukum, dapat memunculkan stigma sosial di masyarakat.
Kesimpulan dan Solusi
Maskawin adalah elemen penting dalam pernikahan yang memiliki makna hukum, filosofis, dan sosial. Namun, berbagai tantangan seperti permintaan maskawin yang berlebihan dan ketidaktahuan akan hak maskawin memerlukan perhatian serius.
Agar maskawin dapat menjalankan fungsinya dengan baik, perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban terkait maskawin. Selain itu, nilai maskawin sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan pihak pria, tanpa mengurangi esensi penghormatan terhadap wanita. Dengan demikian, maskawin dapat menjadi wujud komitmen dan penghormatan dalam pernikahan, bukan sumber konflik atau beban berat.