Dalam istilah hukum, terutama dalam hukum Islam, “mak’ruh” adalah salah satu kategori hukum yang memiliki implikasi khusus. Secara etimologi, mak’ruh berasal dari bahasa Arab yang berarti “dibenci” atau “tidak disukai.” Dalam konteks hukum, mak’ruh mengacu pada suatu tindakan yang secara hukum diperbolehkan, tetapi jika ditinggalkan akan lebih baik karena tindakan tersebut kurang disukai oleh syariat.
Namun, istilah ini juga dapat digunakan secara kiasan dalam pembahasan hukum positif untuk menggambarkan tindakan yang, meskipun tidak ilegal, dianggap tidak etis atau tidak sesuai dengan norma yang diharapkan. Artikel ini akan membahas mak’ruh dari perspektif hukum Islam dan bagaimana konsep ini dapat dianalogikan dalam konteks hukum modern.
Mak’ruh dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam, mak’ruh merupakan salah satu dari lima kategori hukum (al-ahkam al-khamsah) yang mencakup wajib, sunnah, mubah, mak’ruh, dan haram. Karakteristik utama mak’ruh adalah:
1. Dibolehkan tetapi Tidak Disukai
Tindakan yang dikategorikan sebagai mak’ruh tidak akan mendapatkan hukuman jika dilakukan, tetapi meninggalkannya akan mendatangkan pahala. Misalnya, berbicara saat makan atau berlebihan dalam mengonsumsi makanan tertentu.
2. Pencegahan dari Hal yang Lebih Buruk
Kadang-kadang, tindakan mak’ruh disarankan untuk dihindari karena dapat membuka jalan menuju perbuatan yang lebih buruk, seperti tindakan yang mendekati kategori haram.
3. Subjektivitas dan Konteks
Dalam beberapa kasus, sesuatu yang mak’ruh dapat berubah statusnya tergantung pada situasi dan kondisi. Contohnya, menguap saat shalat dianggap mak’ruh, tetapi jika tidak bisa ditahan, maka tidak berdosa.
Mak’ruh dalam Perspektif Hukum Modern
Dalam konteks hukum modern, istilah mak’ruh dapat dianalogikan sebagai tindakan yang:
1. Tidak Melanggar Hukum tetapi Tidak Etis
Contoh dalam hukum positif adalah tindakan seorang pejabat publik yang menerima hadiah dalam kapasitasnya sebagai pelayan negara. Meskipun hal ini tidak selalu dilarang secara eksplisit, praktik tersebut dapat dianggap tidak etis dan merusak integritas jabatan.
2. Pelanggaran Ringan atau Grey Area
Dalam beberapa sistem hukum, terdapat area abu-abu (grey area) yang tidak secara jelas dilarang tetapi dianggap kurang sesuai dengan prinsip keadilan atau moralitas. Misalnya, penggunaan celah hukum (legal loopholes) untuk menghindari pajak.
3. Praktik yang Mengundang Risiko
Dalam regulasi bisnis, ada tindakan yang meskipun sah secara hukum, tetapi jika dilakukan secara berulang atau dalam skala besar, dapat merugikan masyarakat. Misalnya, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan tanpa melanggar hukum tetapi bertentangan dengan prinsip keberlanjutan.
Relevansi Mak’ruh dalam Kehidupan Hukum dan Sosial
Penerapan prinsip mak’ruh memiliki relevansi yang kuat dalam membentuk perilaku masyarakat yang lebih etis dan bertanggung jawab. Dalam konteks sosial, konsep ini mengingatkan kita untuk tidak hanya berfokus pada aspek legalitas, tetapi juga pada nilai-nilai moral dan etika.
Sebagai contoh:
1. Dalam hubungan kerja, meskipun menghindari konflik langsung dengan rekan kerja tidak melanggar aturan perusahaan, tindakan ini bisa dianggap mak’ruh karena dapat menciptakan suasana kerja yang kurang kondusif.
2. Dalam dunia pendidikan, praktik memanipulasi data siswa untuk tujuan tertentu mungkin tidak melanggar hukum, tetapi bertentangan dengan prinsip kejujuran.
Kesimpulan
Mak’ruh, baik dalam konteks hukum Islam maupun dalam analogi hukum modern, mengajarkan pentingnya mempertimbangkan aspek moral dan etika dalam setiap tindakan. Meskipun sesuatu diperbolehkan secara hukum, bukan berarti tindakan tersebut ideal atau disarankan. Oleh karena itu, pemahaman tentang mak’ruh membantu membangun masyarakat yang tidak hanya taat hukum tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan dan keadilan.