Dalam sistem peradilan, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dianggap sebagai akhir dari proses hukum. Namun, tidak semua putusan yang sudah final mencerminkan keadilan sejati. Dalam beberapa kasus, kekeliruan atau ketidakadilan dalam putusan dapat terjadi, baik karena kesalahan hakim, kurangnya bukti, maupun penemuan fakta baru yang sebelumnya tidak diketahui.
Untuk mengatasi situasi tersebut, hukum menyediakan mekanisme luar biasa yang dikenal dengan istilah herziening. Herziening memberikan kesempatan bagi terpidana atau pihak lain yang berkepentingan untuk meninjau kembali putusan yang dianggap tidak adil, dengan harapan dapat mengoreksi kesalahan yang telah terjadi.
Namun, meskipun mekanisme ini penting untuk menjamin keadilan, pelaksanaannya sering kali diwarnai dengan berbagai kendala. Artikel ini akan membahas pengertian herziening, prosedur pengajuan, serta tantangan-tantangan yang kerap muncul dalam penerapannya.
Pengertian Herziening dalam Istilah Hukum
Herziening adalah istilah dalam hukum yang merujuk pada upaya hukum luar biasa untuk meninjau kembali putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, herziening diatur dalam Pasal 263 hingga Pasal 269 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Herziening dilakukan dengan tujuan memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat adanya kekeliruan atau ketidakadilan dalam putusan pengadilan.
Permohonan herziening biasanya diajukan kepada Mahkamah Agung oleh terpidana atau ahli warisnya, dengan alasan-alasan yang diatur dalam KUHAP. Herziening berbeda dengan banding atau kasasi, karena hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang sudah bersifat final dan memiliki syarat tertentu.
Alasan Pengajuan Herziening
Ada beberapa alasan utama yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan herziening, antara lain:
1. Ditemukan bukti baru (novum): Bukti baru yang tidak ditemukan atau tidak diajukan selama proses persidangan sebelumnya, yang berpotensi mengubah hasil putusan.
2. Adanya kekeliruan nyata dalam putusan: Kekeliruan yang bersifat substantif dalam penerapan hukum oleh hakim.
3. Adanya putusan hakim yang saling bertentangan: Jika terdapat putusan pengadilan yang bertentangan atas kasus yang sama.
Proses Pengajuan Herziening
Proses pengajuan herziening harus melalui beberapa tahapan, di antaranya:
1. Pengajuan permohonan: Permohonan diajukan secara tertulis ke Mahkamah Agung.
2. Pemeriksaan oleh Mahkamah Agung: Mahkamah Agung akan memeriksa permohonan tersebut berdasarkan bukti-bukti yang diajukan.
3. Putusan Mahkamah Agung: Jika permohonan diterima, Mahkamah Agung dapat mengubah, membatalkan, atau memperbaiki putusan sebelumnya.
Masalah yang Sering Terjadi Terkait Herziening
Meski herziening bertujuan memberikan keadilan, ada beberapa masalah yang sering muncul dalam pelaksanaannya, antara lain:
1. Kesulitan menghadirkan bukti baru (novum): Tidak semua bukti baru dapat diterima oleh Mahkamah Agung. Bukti harus relevan, valid, dan memiliki pengaruh besar terhadap putusan sebelumnya.
2. Proses yang memakan waktu lama: Pengajuan herziening sering kali membutuhkan waktu yang cukup panjang, yang bisa menjadi kendala bagi terpidana atau keluarganya.
3. Ketidakpastian hukum: Dalam beberapa kasus, putusan herziening justru memunculkan perdebatan baru karena dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
4. Kurangnya pemahaman masyarakat: Banyak orang yang belum memahami prosedur dan persyaratan untuk mengajukan herziening, sehingga sering kali mengalami kesalahan administratif.
Herziening merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem peradilan untuk memastikan keadilan tetap tegak, terutama ketika ditemukan kesalahan dalam putusan pengadilan. Namun, tantangan dalam implementasinya menunjukkan perlunya perbaikan prosedur dan peningkatan pemahaman masyarakat mengenai istilah ini.
Kesimpulan
Herziening adalah salah satu mekanisme penting dalam sistem peradilan yang berfungsi untuk meninjau kembali putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan memberikan peluang untuk mengoreksi kesalahan dalam putusan, herziening menjadi alat untuk menjaga keadilan, terutama ketika ditemukan bukti baru, kekeliruan nyata, atau adanya putusan yang saling bertentangan.
Namun, dalam praktiknya, pengajuan herziening menghadapi berbagai tantangan, seperti kesulitan dalam memenuhi syarat bukti baru (novum), proses yang memakan waktu lama, dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang prosedur hukum ini. Hal ini menunjukkan perlunya upaya perbaikan, baik dalam aspek prosedural maupun edukasi hukum, agar herziening dapat benar-benar menjadi jalan terakhir yang efektif dalam mewujudkan keadilan.
Dengan terus meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat, serta memastikan transparansi dan efisiensi dalam proses hukum, herziening dapat berfungsi optimal sebagai solusi untuk mengoreksi putusan yang tidak adil.