Dalam sistem hukum, absolute competentie merupakan istilah yang mengacu pada kewenangan mutlak suatu lembaga peradilan untuk mengadili jenis perkara tertentu. Kewenangan ini ditentukan berdasarkan jenis atau sifat perkara, bukan lokasi atau pihak yang terlibat dalam sengketa. Istilah ini sering digunakan untuk membedakan pengaturan kompetensi antara pengadilan yang berbeda, seperti pengadilan negeri, pengadilan agama, atau pengadilan tata usaha negara.
Definisi Absolute Competentie
Secara terminologi, absolute competentie berasal dari bahasa Latin yang berarti “kewenangan mutlak.” Dalam konteks hukum, hal ini merujuk pada pengaturan tentang lembaga peradilan mana yang memiliki hak eksklusif untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara berdasarkan bidang hukum yang diatur.
Di Indonesia, aturan mengenai absolute competentie diatur dalam berbagai undang-undang, seperti:
1. Pasal 118 HIR (Herzien Indonesisch Reglement): Mengatur kompetensi absolut untuk perkara perdata.
2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: Menegaskan pengaturan tentang kompetensi absolut antara pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan militer, dan pengadilan tata usaha negara.
Misalnya, dalam konteks perkara perceraian bagi umat Muslim, kompetensi absolut berada di Pengadilan Agama, sedangkan perceraian bagi non-Muslim menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
Jenis Absolute Competentie
1. Kompetensi Peradilan Umum:
Menangani perkara pidana dan perdata yang tidak diatur secara khusus oleh pengadilan lainnya.
2. Kompetensi Peradilan Agama:
Berwenang memeriksa perkara yang terkait dengan hukum Islam, seperti perkawinan, waris, wasiat, dan zakat.
3. Kompetensi Peradilan Militer:
Menangani kasus yang melibatkan anggota militer aktif.
4. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN):
Berwenang mengadili sengketa antara masyarakat dan pemerintah yang terkait dengan keputusan tata usaha negara.
Masalah yang Sering Terjadi Terkait Absolute Competentie
1. Kesalahan dalam Penentuan Pengadilan yang Berwenang:
Salah satu masalah yang sering muncul adalah kesalahan pihak yang berperkara dalam menentukan pengadilan mana yang seharusnya menangani kasus tersebut. Contohnya, gugatan yang seharusnya diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara justru diajukan ke Pengadilan Negeri, sehingga gugatan ditolak karena pengadilan dianggap tidak berwenang secara absolut.
2. Tumpang Tindih Kewenangan:
Terdapat kasus di mana kewenangan absolut antara dua jenis pengadilan belum terdefinisi secara jelas dalam undang-undang, sehingga menimbulkan perdebatan hukum. Misalnya, sengketa yang melibatkan aspek perdata dan tata usaha negara dalam satu perkara.
3. Ketidakpahaman Masyarakat Umum:
Banyak masyarakat yang tidak memahami pembagian kompetensi absolut ini, sehingga sering terjadi kekeliruan dalam mengajukan gugatan. Hal ini menyebabkan proses hukum menjadi lebih panjang karena harus dimulai kembali di pengadilan yang tepat.
4. Sengketa dalam Lingkup Kewenangan Internasional:
Dalam beberapa kasus lintas negara, penentuan kompetensi absolut menjadi lebih rumit karena melibatkan perbedaan sistem hukum antara negara.
Kesimpulan
Absolute competentie merupakan elemen penting dalam sistem peradilan yang memastikan setiap perkara ditangani oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum sesuai dengan jenis dan sifat perkara. Namun, pemahaman yang kurang serta ketidakjelasan regulasi sering menjadi kendala dalam implementasinya. Oleh karena itu, edukasi hukum dan pembaruan peraturan yang lebih komprehensif diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah yang terkait dengan absolute competentie.